Fenomena Guru PPPK di Blitar Ramai-Ramai Ajukan Cerai: Antara Ekonomi, Status, dan Tanggung Jawab Sosial

Sahabat Sangkolan, Fenomena Guru PPPK di Blitar Ramai-Ramai Ajukan Cerai: Antara Ekonomi, Status, dan Tanggung Jawab Sosial.

Fenomena Guru PPPK di Blitar Ramai-Ramai Ajukan Cerai: Antara Ekonomi, Status, dan Tanggung Jawab Sosial
ilustrasi guru menggugat cerai, img: personalized by ai

Fenomena tak biasa terjadi di Kabupaten Blitar sepanjang semester pertama tahun 2025. Sebanyak 20 guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mengajukan permohonan cerai kepada pemerintah daerah. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, di mana dalam kurun waktu satu tahun hanya tercatat 15 pengajuan cerai dari kalangan ASN PPPK.

Fenomena ini memicu perhatian publik dan menjadi sorotan media nasional, terutama karena mayoritas pemohon cerai adalah guru perempuan yang memiliki pasangan dengan pekerjaan tidak tetap atau berpenghasilan lebih rendah.

Penyebab Utama: Ekonomi dan Ketimpangan Peran

Menurut penjelasan dari Deni Setiawan, Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, penyebab utama dari peningkatan kasus ini adalah masalah ekonomi rumah tangga, terutama ketimpangan pendapatan antara istri yang sudah menjadi guru PPPK dan suami yang bekerja di sektor informal atau tidak memiliki penghasilan tetap.

"Mayoritas pengaju adalah PPPK wanita. Biasanya, suaminya bukan pekerja tetap atau tidak punya penghasilan pasti. Hal ini memunculkan konflik rumah tangga yang berujung perceraian," ujar Deni.

Beberapa guru mengaku merasa lebih stabil secara ekonomi dan memilih untuk melanjutkan hidup secara mandiri, meskipun harus melalui proses perceraian yang cukup ketat dari sisi administratif.

Syarat Hukum: Izin Bupati Sebelum Gugat Cerai

Sebagai ASN, termasuk PPPK, pengajuan cerai tidak bisa dilakukan begitu saja. Guru yang ingin mengajukan cerai harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala daerah (bupati). Hal ini merujuk pada peraturan kepegawaian yang mengatur tata cara dan etika ASN dalam kehidupan pribadi yang berdampak pada status kepegawaian.

Jika guru tetap mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama tanpa izin tersebut, maka ia dapat dikenai sanksi administratif, seperti:

  • Pemotongan tunjangan kinerja,
  • Hukuman disiplin tingkat sedang hingga berat,
  • Atau pemotongan gaji hingga 50% selama periode tertentu.

Salah satu kasus yang mencuat adalah guru PPPK yang menikah kembali sebelum proses perceraiannya tuntas secara administratif. Akibatnya, guru tersebut dikenakan sanksi pemotongan gaji selama setahun penuh.

Respons Dinas Pendidikan dan Upaya Mediasi

Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar telah melakukan berbagai upaya mediasi, termasuk mendatangkan kedua belah pihak untuk dibina dan diberi konseling. Namun, tidak semua kasus berhasil diselesaikan. Banyak dari guru tetap memilih melanjutkan proses hukum meski telah diberi pembinaan.

Untuk menjaga kelancaran proses belajar mengajar, dinas juga menerapkan kebijakan untuk tidak memanggil guru saat jam pelajaran berlangsung, dan memfasilitasi pengajuan izin di luar jam sekolah.

Dampak Sosial dan Refleksi

Fenomena ini menjadi cermin tekanan sosial dan ekonomi yang dihadapi guru PPPK, khususnya perempuan, dalam menjalankan dua peran sekaligus: sebagai pendidik dan sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Ketika peran ini tidak diseimbangkan dengan dukungan pasangan yang kuat dan stabilitas ekonomi rumah tangga, konflik menjadi tak terhindarkan.

Demikian artikel terbaru kami , Semoga Bermanfaat.

Baca Juga :

File Bisa Diunduh diGrup Guru Berbagi 

WA : https://bit.ly/3NeVa0Z 

Tele : https://bit.ly/3AYIXWZ

Post a Comment for "Fenomena Guru PPPK di Blitar Ramai-Ramai Ajukan Cerai: Antara Ekonomi, Status, dan Tanggung Jawab Sosial"